Sex Reversal Pada Ikan Nila
BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Ikan nila (Oreochromis niloticus)
merupakan salah satu jenis ikan tilapia yang indigenous di Benua Afrika.
Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah menyebar di berbagai
negara di dunia termasuk Indonesia (Popma & Lovshin 1995).
Secara global, ikan tilapia merupakan salah satu komoditas penting
dengan produksi dan kebutuhan yang semakin meningkat (Fitzsimmons
2008).
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
juga menempatkan ikan nila sebagai salah satu ikan budidaya air tawar
yang mempunyai nilai ekonomis penting dan Merupakan salah satu dari 10
komoditas utama kegiatan budidaya. Secara biologis, laju pertumbuhan
ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina
(sexual dimorphism) (Popma & Masser 1999). Data-data empiris
pada budidaya ikan nila menunjukkan penggunaan populasi tunggal
kelamin (mono-sex) jantan akan memberikan produksi lebih baik
dibandingkan populasi campuran (mixed-sex) (Rakocy & McGinty 1989;
Tave 1993; Tave 1996; Chapman 2000; Dunham 2004; Gustiano 2006).
Selain disebabkan oleh fenomena sexual
dimorphism, budidaya ikan nila menggunakan benih dengan kelamin jantan
dan betina yang dicampur juga mengalami pertumbuhan yang relatif lebih
lambat. Hal ini karena terjadinya kematangan kelamin dini pada populasi
campuran (Mair et al. 1995). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kematangan ke
lamin dini tersebut dapat menghambat pertumbuhan populasi karena energi
yang digunakan untuk pertumbuhan sebagian terbagi untuk perkembangan
kematangan gonad. Selain itu, adanya anakan yang tidak dikehendaki pada
populasi kelamin campuran juga mengakibatkan energi yang harus
dikeluarkan dalam rangka kompetisi mencari makan semakin besar.
Dampak yang terjadi adalah rendahnya
biomasa ikan pada waktu panen yang dapat mencapai 30-50%. Untuk
menghindari fenomena yang merugikan tersebut, perlu dilakukan budidaya
ikan nila tunggal kelamin, khususnya tunggal kelamin jantan. Salah satu
metode untuk mendapatkan populasi ikan nila tunggal kelamin jantan
yang banyak dilakukan adalah dengan metode pembalikan kelamin atau sex reversal.
Teknik sex reversal pada ikan nila yang
banyak dilakukan adalah dengan penambahan hormon sintetik
17a-methyltestosterone (17a-mt). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penambahan hormon 17a-mt pada pakan dengan dosis 40-60 mg/kg pakan
selama 3-4 minggu pada benih ikan nila berumur 7-9 hari setelah
menetas efektif untuk sex reversal dan mampu menghasilkan populasi
jantan mendekati 100% ( Bowker et al. 2007). Namun berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.20/MEN/2003,
hormon 17a-mt termasuk dalam klasifikasi obat keras yang berarti bahwa
peredaran dan pemanfaatannya menjadi semakin dibatasi terkait dengan
dampak negatif yang dapat ditimbulkan, baik kepada ikan, manusia maupun
lingkungan. Hormon 17a-mt yang notabene merupakan hormon sintetik
bersifat karsinogenik bagi manusia. Selain itu, hormon ini juga
berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena sulit terdegradasi
secara alami. Contreras-S?ncez et al. (2001) melaporkan bahwa residu
anabolik 17a-mt masih tertinggal dalam sedimen kolam setelah 3 bulan
penggunaannya pada maskulinisasi benih ikan nila.
Dalam rangka menggantikan fungsi
hormon 17a-mt, mulai dikembangkan penggunaan bahan-bahan alternatif
yang lebih aman untuk “dikonsumsi”. Salah satu bahan alternatif yang
mulai banyak digunakan adalah bahan aromatase inhibitor. Aromatase
inhibitor adalah bahan kimia yang mampu menghambat sekresi enzim
aromatase yang berperan dalam sintesis estrogen dari androgen.
Penghambatan ini akan menyebabkan tidak aktifnya proses transkripsi
gen-gen aromatase yang mengakibatkan mRNA tidak terbentuk, sehingga
terjadi penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya
transkripsi dari gen aromatase sebagai feedback -nya (Sever et al.
1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya
perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, atau
terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder. Penelitian
pemanfataan bahan aromatase inhibitor untuk sex reversal ikan di
Indonesia telah dilakukan pada beberapa spesies ikan antara lain pada
ikan lele varietas Sangkuriang (Jufrie 2006; Utomo 2006), udang galah
(Sarida 2006), ikan platty (Supriatin 2005) dan ikan nila (Astutik 2004;
Barmudi 2005; Tasdiq 2005; Lukman 2005; Saputra 2007). Sebagian besar
hasil penelitian tersebut, khususnya pada spesies ikan nila,
menunjukkan bahwa bahan aromatase inhibitor berhasil meningkatkan
nisbah kelamin jantan antara 65-85%. Pada umumnya, penelitian dilakukan
menggunakan bahan uji berupa larva ikan nila hasil pemijahan normal yang
terdiri atas genotipe campuran XX dan XY. Hal ini berimplikasi
terhadap tidak akuratnya tingkat efektifitas dan efisiensi bahan
aromatase inhibitor yang digunakan untuk sex reversal dalam
meningkatkan persentase kelamin jantan. Selain itu, penelitian yang
dilakukan berhenti sampai dengan diperolehnya nisbah kelamin ikan nila
setelah diberi perlakuan, sedangkan evaluasi performansi benih ikan
nila hasil sex reversal terutama pada tahap pembesaran belum
dilakukan.
Selain melalui metode sex reversal,
produksi benih ikan nila tunggal kelamin jantan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan induk jantan super (supermale). Program pembentukan
induk ikan nila jantan super di Indonesia telah berhasil dengan
dilepasnya varietas GESIT (Genetically Supermale of Indonesian Tilapia)
oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi pada tahun
2006. Induk jantan super yang bergenotipe YY jika dikawinkan dengan
induk betina normal dengan genotipe XX akan menghasilkan keturunan
100% bergenotipe XY atau biasa disebut GMT (Genetically Male Tilapia).
B. Tujuan
1. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk
menghasilkan populasi benih nila jantan pemberian pakan dengan hormon
Aromatase Inhibitor (AI) kepada larva ikan nila merah.
2. Agar mahasiswa nanti mampu menerapkan tehnik dari program sex reversal (monosex) pada biota budidaya yang dikembangkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
juvenil dan berakhir selama periode
150-500 hari (Yamazaki 1983; Shelton & Jensen 1979, diacu dalam
Pandian & Sheela 1995). Walaupun determinasi kelamin individu pada
awalnya ditentukan oleh genom individu tersebut, tetapi pengalihan dari
kelamin genotipe ke kelamin fenotipe dilakukan melalui mekanisme
biokimia yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan (Chan & Yeung
1983). Ditambahkan oleh Dunham (1990) bahwa meskipun jenis kelamin
genotipe ditentukan pada saat terjadinya fertilisasi, tetapi
penetuan jenis kelamin fenotipe
dipengaruhi oleh perkembangan individu tersebut. Jika selama
perkembangan individu tersebut diintervensi dengan bahan-bahan tertentu,
misalnya hormon androgen atau estrogen, maka perkembangan gonad dapat
berlangsung secara berlawanan dengan yang seharusnya.
- A. Sex Reversal
Sex reversal merupakan suatu teknik untuk
mengubah jenis kelamin secara buatan dari ikan jantan menjadi betina
atau sebaliknya. Borg (1994) menyatakan bahwa sex reversal merupakan
teknik pembalikan jenis kelamin pada saat diferensiasi kelamin, yaitu
pada saat otak dan embrio masih berada pada keadaan bi-potential dalam
pembentukan kelamin secara fenotipe (morfologis, tingkah laku dan
fungsi). Hal ini dijelaskan pula oleh Yamamoto (1969) bahwa perubahan
kelamin secara buatan akan sempurna jika dilakukan pada saat mulainya
proses diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin
terjadi.
B. Hormon Steroid
Salah satu teknik sex reversal adalah
dengan memberikan hormon steroid pada fase labil kelamin. Pada beberapa
spesies ikan jenis teleost gonochoristic, fisiologi kelamin dapat dengan
mudah dimanipulasi melalui pemberian hormon steroid (Piferrer et al.
1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan manipulasi
kelamin pada ikan menggunakan hormon dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu dan cara
pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan.
Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson
(1983), bahwa keberhasilan pemberian hormon sangat tergantung pada
interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan
labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon. Hormon steroid yang
dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri atas hormon
androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan progestin
yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley 1992). Namun, pada
tahap perkembangan gonad belum terdiferensiasi menjadi jantan atau
betina, hormon steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat
diarahkan dengan menggunakan hormon steroid sintetik (Hunter &
Donaldson 1983). Salah satu jenis hormon steroid sintetik yang banyak
digunakan untuk proses sex reversal pada ikan, khususnya ikan nila,
adalah hormon 17a-methyltestosterone (mt). Hormon 17a-mt merupakan
hormon androgen yang bersifat stabil dan mudah dalam penanganan
(Yamazaki 1983). Pemberiannya dapat dilakukan secara oral (Misnawati
1997), perendaman embrio alevin maupun larva (Laining 1995) maupun
implantasi dan injeksi (Mirza & Shelton 1988).
C. Aromatase dan Aromatase Inhibitor
Selain dengan pemberian hormon steroid,
diferensiasi kelamin juga dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang
menghasilkan enzim aromatase (Patino 1997). Aromatase adalah enzim
cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan dari androgen menjadi
estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target
estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan
tingkah laku (Callard et al. 1990). Ada 2 bentuk gen aromatase pada
ikan yaitu aromatase otak dan aromatase ovari. Aromatase otak berperan
sebagai pengatur perilaku sex spesifik pada mamalia dan burung
(Schlinger & Callard 1990, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001)
dan juga mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu
dalam Melo & Ramsdell 2001). Aktivitas enzim aromatase pada otak
teleostei 100-1000 kali lebih tinggi dibanding pada mamalia. Aktivitas
enzim aromatase ovari kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim aromatase
otak (Gelinas & Callard 1993, diacu dalam Tchaudakova & Callard
1998). Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah
teruji karena merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses
aromatisasi dari androstenedione menjadi estrone atau testosterone
menjadi estradiol-17ß (Jeyasuria et al. 1986, diacu dalam Kwon et al.
2000). Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad,
yaitu larva dengan aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada
terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan
mengarah pada terbentuknya ovari (Sever et al. 1999).
Pada ikan tilapia, sel yang memproduksi
enzim aromatase positif terdapat pada gonad XX berumur 7 hari setelah
menetas. Aromatase ini penting bagi sintes is estrogen yang selanjutnya
akan mempengaruhi penentuan jenis kelamin. Aromatase diekspresikan
pada gonad XX 10 hari sampai dengan 2 minggu sebelum diferensiasi ovari
(Brodie 1991). Selain pada genotipe XX, aktivitas enzim aromatase
juga terdeteksi pada genotipe XY dengan tingkat yang lebih rendah
(D’Cotta et al. 2001).
Aromatase inhibitor berfungsi untuk
menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya
penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen
yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatase sebagai
feedback -nya (Sever et al. 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap
androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi
menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik
seksual sekunder (Davis et al. 1990). Secara umum, aromatase
inhibitor menghambat aktivitas enzim melalui 2 cara, yaitu dengan
menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak
terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et
al. 1999). Cara kedua adalah melalui cara bersaing dengan substrat
selain testosterone sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan
(Brodie 1991).
Pada beberapa spesies, penghambatan
aromatase menyebabkan pengaruh maskulinisasi sama seperti pengaruh
androgen (Kwon et al. 2000). Pada ikan salmon, penambahan aromatase
inhibitor jenis imidazole mampu menghasilkan jantan fungsional sebesar
20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan dosis 10 mg/liter
(Piferrer et al. 1994). Pada ikan nilem, perendaman telur selama 4 jam
dengan dosis 45 mg/liter mampu menghasilkan 84,83% anakan berkelamin
jantan (Wijayanti 2002). Pada ikan nila merah, perendaman embrio dengan
dosis 30 mg/liter menghasilkan anakan berkelamin jantan sebesar 82,22%
(Wulansari 2002), bahkan hasil penelitian Kwon et al. (2000) mendapatkan
hasil populasiikan nila hampir 100% jantan melalui penambahan
aromatase inhibitor jenis fadrozole pada pakan dengan dosis 400 dan
500 mg/kg pakan.
BAB III
BAHAN DA METODE
A. Waktu dan Tempat
Praktikum praktikum sex reversal dengan metode oral ini dilaksanakan pada :
Hari/Tanggal : Kamis, 28 April 2011 – Sabtu, 07 Mei 2011
Tempat : Hatchery Departemen Perikanan dan Kelautan VEDCA Cianjur
B. Alat Dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum sex reversal yaitu :
- Alat ;
- Timbangan digital
- Akuarium ukuran 70 x 40 x 40
- Petridis
- Aerator
- Ember
- Seser halus
- Selang sifon
- Alat tulis
- Bahan;
- Larva ikan nila merah100 ekor
- Hormon Aromatase Inhibitor (AI)
- Alcohol 70%
- Pakan berbentuk tepung
- Air bersih
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja praktikum sex reversal ini adalah sebagai berikut:
- Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
- Bersihkan akuarium dan isi air setinggi 30 cm
- Ambil benih ikan nila yang baru berumur 7-10 hari sebanyak 100 ekor dan timbang beratnya setelah itu masukan benih tersebut dalam akuarium yang telah disiapkan sebelumnya.
- Timbang pakan yang akan digunakan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan berdasarkan biomasa ikan untuk 10 hari pemeliharaan.
- Timbang hormon Aromatase Inhibitor (AI) yang akan digunakan untuk metode sex reversal sistem oral berdasarkan berat biomasa ikan.
- Campurkan pakan kedalam hormon yang telah diencerkan dengan alcohol 70% dalam wada Petridis.
- Aduk pakan dan hormon tersebut sampai merata setelah itu baru diangin-anginkan beberapa saat kemudian pakan dibungkus dengan kertas menjadi 30 bungkus (1 bungkus untuk 1 kali pemberian).
- Pakan diberikan setiap hari dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari.
- Lakukan pergantian air dan penyiponan bila media pemeliharaan kotor.
Pemeliharaan dilakukan 10 hari setelah itu lakukan pemanenan untuk menghitung derajat kelangsungan hidup larva ((/SR).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
- A. Hasil
Hasil praktikum sex reversal ikan nila merah ini dapat dilihat sebagai berikut :
Berat nila 100 ekor : 0,7 gr
Dosis pakan : 40 % X biomassa = 0,28 gr
Dosis hormon AI : 60 mg/kg = 0,0168 mg dibulatkan = 0,02 mg/gr pakan
Pemeliharaan : 10 hari
B. Pembahasan
Ikan yang akan dilakukan sex reversal
terlebih dahulu ditimbang berat tubuhnya. Karena ukuran larva nila ini
relatif kecil dengan umur 7-10 hari, maka penimbangan dilakukan dengan
metode volumetric secara keseluruhan ikan dimasukan dalam wadah berisi
air dan ditimbang. Hasilnya ditemukan total berat ikan secara
keseluruhan adalah : 0,7 gr atau Berat ikan 0,007 gr/ekor. Perhitungan
dosis pakan dilakukan dengan mengalikan berat tubuh ikan dengan FR yang
diharapkan perhari. total pakan 0,028 gr/hari x 10 hari = 0,28 gr
Setelah ditemukan dosis pakan,
selanjutnya dilakukan penghitungan dosis hormon Aromatase Inhibitor
(AI). Caranya adalah dengan mengalikan dosis pakan (dalam kg) dengan 60
mg (untuk ikan nila). Hasilnya ditemukan dosis hormon 0,02 mg/gr pakan x
0,28 gr = 0,056 mg dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari.
Sebelum dicampurkan dengan
pakan, hormon dilarutkan dengan pelarut polar (alcohol 70%) dan kemudian
dicampur secara merata dengan pakan, sebelum pakan dibungkus dengan
kertas terlebih dahulu pakan diangin-anginkan sampai kering. Selanjutnya
pakan dibagi menjadi sebanyak 30 bungkus untuk pemberian selama 10
hari, dan diberikan pada ikan 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore.
Pada akhir dari praktikum ini didapat
tingkat derajat kelangsungan hidup larva (SR) 62%, dengan rumus . Hasil
ini dapat dikatakan masih baik karena masih diatas nilai 50%, sedangkan
tingkat pertumbuhan dari jumlah pakan yang diberikan tidak dihitung.
Kurangnya daya dukung praktikum menjadi kendala yang dihadapi sehingga
dalam melakukan praktikan tidak mampu untuk menentukan faktor apa saja
yang mempengaruhi tingkat kerja hormon Aromatase Inhibitor (AI) yang
diberikan pada larva. Ikan yang telah dilakukan perangsangan hormon
belum bisa di identifikasi jenis kelamin dengan mata terbuka. Sehingga
ikan yang telah dilakukan proses perangsangan tersebut belum diketahui
prosentase terjadinya jantan dan betina.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini yaitu :
- Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatase sebagai feedback-nya. Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder.
- Pemberian hormon Aromatase Inhibitor (AI) dengan metode oral pada larva ikan nila merah ini dilakukan dengan tujuan sex reversal untuk penjantanan. Pemberian hormon ini dilakukan pada larva yang berumur 7-10 hari. Karena larva pada umur ini belum terjadi proses diferensiasi sex (belum pasti) jenis kelamin ikan.
- Derajat kelangsungan hidup larva (SR) pada praktikum ini adalah 62%. Hasil ini dapat dikatakan masih baik karena masih diatas nilai 50%, sedangkan tingkat pertumbuhan dari jumlah pakan yang diberikan tidak dihitung.
- Ikan yang telah dilakukan perangsangan hormon belum bisa di identifikasi jenis kelamin dengan mata terbuka. Sehingga ikan yang telah dilakukan proses perangsangan tersebut belum diketahui prosentase terjadinya jantan dan betina. Karena keterbatasan alat dan waktu praktikum.
B. Saran
Untuk praktikum selanjutnya diharapkan
agar waktu diperpanjang sampai larva dapat diidentifikasi proses
perubahan sex kelaminnya agar praktikan dilibatkan langsung pada proses
pengamatan dan dapat mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi
proses jantanisasi dan kelangsungan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, Usni. 2004. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila Gift. Jakarta : Penebar Swadaya
Gusrina, 2008. Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3 untuk SMK.
Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan
Nasional,
Mantau, 2005. Produksi Benih Ikan Nila Jantan Dengan Rangsangan Hormon Metil Testosterondalam Tepung Pellet. Jakarta : Jurnal Litbang Pertanian
0 komentar:
Posting Komentar