Jumat, 26 Oktober 2012

Materi UTS Kuliah Pengantar Ilmu Penangkapan Ikan, JPK Kelas A UNSOED, 2012.

Materi ini adalah materi kuliah Pengantar Ilmu Penangkapan Ikan untuk bahan UTS kelas JPK A Angkatan 2011, tahun 2012. klik disini!

Materi Uts Mata Kuliah Jati Diri UNSOED, JPK UNSOED, 2012

Materi ini adalah materi untuk ujian tengah smester 3 Mata Kuliah Jati Diri UNSOED JPK UNSOED, 2012. Klik disini!

Materi UTS Mata Kuliah Biologi Perikanan Smester 3 JPK UNSOED 2012

Materi ini adalah materi UTS BIOLOGI PERIKANAN, JPK UNSOED tahun 2012. klik disini!

Tekonologi Sex Reversal Pada Ikan

Sex Reversal PDF Print E-mail
Written by Endang Masduki, S.St.Pi   

Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat
belum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara jantang dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotif ikan tetapi tidak merubah genotifnya. Teknik sex reversal mulai dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17 disintesis untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan pada ikan guppy (Poeciliareticulata).Kemudian dikembangkan oleh Yamamato di Jepang pada ikan medaka (Oryzias latipes). Ikan medaka betina yang diberi metiltestosteron akan berubah menjadi jantan. Setelah melalui berbagai penelitian teknik ini menyebar keberbagai negara lain dan diterapkan pada berbagai jenis ikan. Awalnya dinyakini bahwa saat yang baik untuk melakukan sex reversal adalah beberapa hari sebelum menetas (gonad belum didiferensiasikan).Teori ini pun berkembang karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa sex reversal dapat diterapkan melalui embrio dan induk yang sedang bunting.
Manfaat
Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat  dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapa ikan yang berjenis jantan dapat tumbuh lebih cepat daripada jenis betina misalkan ikan nila dan ikan lele Amerika. Untuk mencegah pemijahan liar dapat dilakukan melalui teknik ini. Pemijahan liar yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kolam  cepat penuh dengan berbagai ukuran ikan. Total biomass ikan tinggi namun kualitasnya rendah. Pemeliharaan ikan monoseks akan mencegah perkawinan dan pemijahan liar sehingga kolam tidak cepat dipenuhi ikan. Selain itu ikan yang dihasilkan akan berukuran besar dan seragam. Contoh ikan yang cepat berkembangbiak yaitu ikan nila dan mujair.Pada beberapa jenis ikan hias seperti cupang, guppy, kongo dan rainbow akan memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan daripada ikan betina. Dengan demikian nilai jual ikan jantan lebih tinggi ketimbang ikan betina.
Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan. Telah lama diketahui ikan dapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang produknya adalah semua betina. Menjelang diferensiasi gonad sebagian dari populasi betina tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa metiltestosteron sehingga menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan dengan saudaranya dan diulangi beberapa kali sampai diperoleh ikan dengan ras murni.
Perbedaan Dengan Hermaprodit
Pada kasus hermaprodit, hormon yang diberikan hanya akan mempercepat proses perubahan sedangkan pada sex reversal perubahannya benar-benar dipaksakan. Ikan yang seharusnyaberkembang menjadi betina dibelokkan perkembangannya menjadi jantan melalui prosespenjantanan (maskulinisasi). Sedangkan ikan yang seharusnya menjadi jantan dibelokkan menjadi betina melalui proses pembetinaan (feminisasi).
Metode Sex Reversal
Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi tidak mempengaruhi genotif. Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun sek kromosomnya.  Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan. Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam dikarenakan perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama. Misalkan pada ikan hias, nisbah kelamin anakan tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan:50% betina pada pemijahan pertama, dan 30% jantan:50% betina pada pemijahan berikutnya.

sumber :  http://www.supm-bone.net/index.php?option=com_content&view=article&id=72:sex-reversal

SEX REVERSAL PADA IKAN NILA (Oreochromis nilotikus)

Sex Reversal Pada Ikan Nila

BAB I
PENDAHULUAN


  1. A.    Latar Belakang
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan tilapia yang indigenous di Benua Afrika. Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah menyebar di berbagai  negara di dunia  termasuk Indonesia  (Popma  &  Lovshin 1995). Secara global, ikan tilapia merupakan salah satu komoditas penting dengan produksi dan kebutuhan yang semakin meningkat (Fitzsimmons   2008).
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga menempatkan ikan nila sebagai salah satu ikan budidaya air tawar yang mempunyai  nilai ekonomis penting dan Merupakan salah satu dari 10 komoditas utama kegiatan budidaya. Secara biologis, laju  pertumbuhan ikan  nila  jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan  nila   betina (sexual  dimorphism)  (Popma  &  Masser 1999).  Data-data  empiris pada budidaya ikan  nila  menunjukkan penggunaan populasi tunggal kelamin (mono-sex) jantan akan memberikan produksi lebih baik dibandingkan populasi campuran (mixed-sex) (Rakocy &  McGinty 1989;  Tave 1993;  Tave  1996;  Chapman 2000;  Dunham 2004;  Gustiano 2006).
Selain disebabkan oleh fenomena sexual dimorphism, budidaya ikan nila menggunakan benih dengan kelamin jantan dan betina yang dicampur juga mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat. Hal ini karena terjadinya kematangan kelamin dini pada populasi campuran (Mair et al. 1995). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kematangan ke lamin dini tersebut dapat menghambat pertumbuhan populasi karena energi yang digunakan untuk pertumbuhan sebagian terbagi untuk perkembangan kematangan gonad.  Selain itu, adanya anakan yang tidak dikehendaki pada populasi kelamin campuran juga mengakibatkan energi yang harus dikeluarkan dalam rangka  kompetisi  mencari makan semakin besar.
Dampak  yang  terjadi  adalah rendahnya  biomasa ikan pada waktu panen  yang dapat mencapai 30-50%. Untuk menghindari fenomena yang merugikan tersebut, perlu dilakukan budidaya  ikan nila tunggal kelamin, khususnya tunggal kelamin jantan.  Salah satu metode untuk mendapatkan populasi  ikan nila tunggal kelamin jantan yang banyak dilakukan adalah dengan metode pembalikan kelamin atau sex reversal.
Teknik sex reversal pada ikan nila yang banyak dilakukan adalah dengan penambahan hormon sintetik 17a-methyltestosterone (17a-mt). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan hormon 17a-mt pada pakan dengan dosis 40-60 mg/kg pakan selama 3-4 minggu pada benih  ikan nila berumur 7-9 hari setelah menetas  efektif untuk  sex reversal  dan  mampu menghasilkan populasi jantan mendekati 100%  ( Bowker  et al. 2007).  Namun  berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.20/MEN/2003,  hormon  17a-mt termasuk dalam klasifikasi obat keras yang berarti bahwa peredaran dan pemanfaatannya menjadi semakin dibatasi terkait dengan dampak negatif yang dapat ditimbulkan, baik kepada ikan, manusia maupun lingkungan. Hormon 17a-mt yang notabene merupakan hormon sintetik bersifat karsinogenik bagi manusia. Selain itu,  hormon ini juga  berpotensi  menimbulkan pencemaran  lingkungan karena sulit terdegradasi secara alami. Contreras-S?ncez et al. (2001) melaporkan bahwa residu anabolik 17a-mt masih tertinggal dalam sedimen kolam setelah 3 bulan penggunaannya pada maskulinisasi benih ikan nila.

Dalam rangka menggantikan fungsi hormon 17a-mt, mulai dikembangkan penggunaan bahan-bahan  alternatif yang lebih aman untuk “dikonsumsi”. Salah satu bahan alternatif  yang  mulai  banyak digunakan adalah  bahan  aromatase inhibitor.  Aromatase  inhibitor  adalah bahan kimia yang mampu menghambat sekresi enzim aromatase yang berperan dalam sintesis estrogen dari androgen. Penghambatan ini akan menyebabkan tidak aktifnya proses transkripsi gen-gen aromatase yang mengakibatkan mRNA tidak terbentuk, sehingga terjadi penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai  feedback -nya  (Sever  et al.  1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, atau terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder. Penelitian pemanfataan bahan aromatase inhibitor untuk sex reversal  ikan di Indonesia telah dilakukan pada beberapa spesies ikan antara lain pada ikan lele varietas Sangkuriang (Jufrie 2006; Utomo 2006), udang galah (Sarida 2006), ikan platty (Supriatin 2005) dan ikan nila (Astutik 2004; Barmudi 2005; Tasdiq 2005; Lukman 2005; Saputra 2007). Sebagian besar hasil penelitian tersebut, khususnya pada spesies ikan  nila,  menunjukkan bahwa bahan aromatase  inhibitor  berhasil meningkatkan nisbah kelamin jantan antara 65-85%. Pada umumnya, penelitian dilakukan menggunakan bahan uji berupa larva ikan nila hasil pemijahan normal yang terdiri atas genotipe campuran XX  dan XY. Hal ini berimplikasi terhadap tidak akuratnya tingkat efektifitas dan efisiensi bahan aromatase inhibitor yang digunakan untuk  sex reversal  dalam meningkatkan persentase kelamin jantan. Selain itu, penelitian yang dilakukan berhenti sampai dengan diperolehnya nisbah kelamin ikan nila  setelah diberi perlakuan, sedangkan evaluasi performansi benih ikan nila  hasil  sex reversal terutama pada tahap pembesaran belum dilakukan.
Selain melalui metode  sex reversal,  produksi benih ikan  nila  tunggal kelamin jantan juga dapat dilakukan dengan menggunakan induk jantan super (supermale).  Program pembentukan induk ikan nila jantan super di Indonesia telah berhasil dengan dilepasnya varietas GESIT (Genetically Supermale of Indonesian  Tilapia) oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi pada tahun 2006.  Induk  jantan super  yang bergenotipe YY  jika dikawinkan dengan induk betina normal dengan genotipe XX akan menghasilkan keturunan  100%  bergenotipe XY  atau biasa disebut GMT (Genetically Male Tilapia).

B.  Tujuan
1. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menghasilkan populasi benih nila jantan pemberian pakan dengan hormon Aromatase Inhibitor  (AI) kepada larva ikan nila merah.
2. Agar mahasiswa nanti mampu menerapkan tehnik dari program sex reversal (monosex) pada biota budidaya yang dikembangkan.
BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA
juvenil dan berakhir selama periode 150-500 hari (Yamazaki  1983; Shelton  & Jensen 1979, diacu dalam Pandian & Sheela  1995).  Walaupun determinasi kelamin individu pada awalnya ditentukan oleh genom individu tersebut, tetapi pengalihan dari kelamin genotipe ke kelamin fenotipe dilakukan melalui mekanisme biokimia yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan (Chan  &  Yeung 1983). Ditambahkan oleh Dunham (1990) bahwa meskipun jenis kelamin genotipe  ditentukan pada saat terjadinya fertilisasi, tetapi
penetuan jenis kelamin fenotipe dipengaruhi oleh  perkembangan individu tersebut. Jika selama perkembangan individu tersebut diintervensi dengan bahan-bahan tertentu, misalnya hormon androgen atau  estrogen, maka perkembangan gonad dapat berlangsung secara berlawanan dengan yang seharusnya.

  1. A.    Sex Reversal 
Sex reversal merupakan suatu teknik untuk mengubah jenis kelamin secara buatan dari ikan jantan menjadi betina atau sebaliknya. Borg (1994) menyatakan bahwa sex reversal  merupakan teknik pembalikan jenis kelamin  pada saat diferensiasi kelamin, yaitu pada saat otak dan embrio masih berada pada keadaan bi-potential  dalam pembentukan kelamin secara fenotipe (morfologis, tingkah laku dan fungsi). Hal ini dijelaskan pula oleh Yamamoto (1969) bahwa perubahan kelamin secara buatan akan sempurna jika dilakukan pada saat mulainya proses diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi.
B.   Hormon Steroid
Salah satu teknik sex reversal adalah dengan memberikan hormon steroid pada fase labil kelamin. Pada beberapa spesies ikan jenis teleost gonochoristic, fisiologi kelamin dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormon steroid (Piferrer et al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan manipulasi kelamin pada ikan menggunakan hormon dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain  jenis dan umur  ikan, dosis hormon, lama waktu dan cara pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan.
Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson  (1983),  bahwa keberhasilan pemberian hormon sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon. Hormon steroid yang dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan progestin yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley  1992). Namun, pada tahap perkembangan gonad belum terdiferensiasi menjadi jantan atau betina, hormon steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid sintetik (Hunter & Donaldson 1983). Salah satu jenis hormon steroid sintetik yang banyak digunakan untuk proses  sex reversal  pada ikan, khususnya  ikan nila, adalah hormon 17a-methyltestosterone (mt).  Hormon 17a-mt  merupakan hormon androgen yang bersifat stabil dan mudah dalam penanganan (Yamazaki  1983).  Pemberiannya dapat dilakukan secara oral (Misnawati 1997), perendaman embrio alevin maupun larva (Laining 1995) maupun implantasi dan injeksi (Mirza & Shelton 1988).

C.   Aromatase dan Aromatase Inhibitor
Selain dengan  pemberian hormon steroid, diferensiasi kelamin juga dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan enzim aromatase (Patino 1997). Aromatase adalah enzim cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan dari  androgen menjadi estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur  jenis kelamin,  reproduksi dan tingkah laku (Callard et al. 1990).  Ada 2 bentuk gen aromatase  pada ikan yaitu aromatase otak  dan aromatase ovari. Aromatase otak berperan sebagai pengatur perilaku  sex  spesifik pada mamalia  dan  burung (Schlinger  &  Callard 1990, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001) dan juga  mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001). Aktivitas enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi dibanding pada mamalia. Aktivitas enzim  aromatase ovari kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim aromatase otak (Gelinas & Callard 1993, diacu dalam Tchaudakova & Callard 1998). Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah teruji karena merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses aromatisasi dari androstenedione  menjadi estrone  atau testosterone  menjadi estradiol-17ß (Jeyasuria et al. 1986, diacu dalam Kwon et al. 2000). Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan aktivitas aromatase rendah akan  mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari (Sever et al. 1999).
Pada ikan tilapia, sel yang memproduksi  enzim aromatase positif terdapat pada gonad XX  berumur  7 hari setelah menetas. Aromatase ini penting bagi sintes is estrogen yang selanjutnya  akan mempengaruhi penentuan jenis kelamin. Aromatase diekspresikan  pada  gonad XX 10 hari sampai dengan 2 minggu sebelum diferensiasi ovari (Brodie  1991).  Selain pada genotipe XX, aktivitas enzim aromatase juga terdeteksi pada genotipe XY dengan tingkat yang lebih rendah (D’Cotta et al. 2001).
Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatase sebagai  feedback -nya (Sever et al. 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder (Davis  et al. 1990).  Secara umum, aromatase  inhibitor menghambat aktivitas enzim melalui 2 cara, yaitu dengan menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga  mRNA  tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et al. 1999). Cara kedua adalah melalui cara bersaing dengan substrat selain testosterone sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan (Brodie 1991).
 Pada beberapa spesies, penghambatan aromatase menyebabkan pengaruh maskulinisasi sama seperti pengaruh androgen (Kwon  et al.  2000). Pada ikan salmon, penambahan  aromatase  inhibitor  jenis imidazole mampu menghasilkan jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan dosis 10 mg/liter (Piferrer et al. 1994). Pada ikan nilem, perendaman telur selama 4 jam dengan dosis 45 mg/liter mampu menghasilkan 84,83% anakan berkelamin jantan (Wijayanti 2002). Pada ikan  nila merah, perendaman embrio dengan dosis 30 mg/liter menghasilkan anakan berkelamin jantan sebesar 82,22% (Wulansari 2002), bahkan hasil penelitian Kwon et al. (2000) mendapatkan hasil populasiikan nila hampir 100% jantan melalui  penambahan aromatase  inhibitor  jenis fadrozole pada pakan dengan dosis 400 dan 500 mg/kg pakan.
BAB III
BAHAN DA METODE

A. Waktu dan Tempat
    Praktikum praktikum sex reversal dengan metode oral ini dilaksanakan pada :
Hari/Tanggal   : Kamis, 28 April 2011 – Sabtu, 07 Mei 2011
Tempat            : Hatchery Departemen Perikanan dan Kelautan VEDCA Cianjur
B. Alat Dan Bahan
                     Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum sex reversal yaitu :
  1. Alat ;
  • Timbangan digital
  • Akuarium ukuran 70 x 40 x 40
  • Petridis
  • Aerator
  • Ember
  • Seser halus
  • Selang sifon
  • Alat tulis
  1. Bahan;
  • Larva ikan nila merah100 ekor
  • Hormon Aromatase Inhibitor (AI)
  • Alcohol 70%
  • Pakan berbentuk tepung
  • Air bersih
C.   Prosedur Kerja
            Prosedur kerja praktikum sex reversal ini adalah sebagai berikut:
  1. Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
  2. Bersihkan akuarium dan isi air setinggi 30 cm
  3. Ambil benih ikan nila yang baru berumur 7-10 hari sebanyak 100 ekor dan timbang beratnya setelah itu masukan benih tersebut dalam akuarium yang telah disiapkan sebelumnya.
  4. Timbang pakan yang akan digunakan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan berdasarkan biomasa ikan untuk 10 hari pemeliharaan.
  5. Timbang hormon Aromatase Inhibitor (AI) yang akan digunakan untuk metode sex reversal sistem oral berdasarkan berat biomasa ikan.
  6. Campurkan pakan kedalam hormon yang telah diencerkan dengan alcohol 70% dalam wada Petridis.
  7. Aduk pakan dan hormon tersebut sampai merata setelah itu baru diangin-anginkan beberapa saat kemudian pakan dibungkus dengan kertas menjadi 30 bungkus (1 bungkus untuk 1 kali pemberian).
  8. Pakan diberikan setiap hari dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari.
  9. Lakukan pergantian air dan penyiponan bila media pemeliharaan kotor.
Pemeliharaan dilakukan 10 hari setelah itu lakukan pemanenan untuk menghitung derajat kelangsungan hidup larva ((/SR).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. A.    Hasil
              Hasil praktikum sex reversal ikan nila merah ini dapat dilihat sebagai berikut :
Berat nila 100 ekor   : 0,7 gr
Dosis pakan              : 40 % X biomassa =  0,28 gr
Dosis hormon AI      : 60 mg/kg = 0,0168 mg dibulatkan = 0,02 mg/gr pakan
Pemeliharaan             : 10 hari
B.  Pembahasan
Ikan yang akan dilakukan sex reversal terlebih dahulu ditimbang berat tubuhnya. Karena ukuran larva nila ini relatif kecil dengan umur 7-10 hari, maka penimbangan dilakukan dengan metode volumetric secara keseluruhan ikan dimasukan dalam wadah berisi air dan ditimbang. Hasilnya ditemukan total berat ikan secara keseluruhan adalah : 0,7 gr atau Berat ikan 0,007 gr/ekor. Perhitungan dosis pakan dilakukan dengan mengalikan berat tubuh ikan dengan FR yang diharapkan perhari. total pakan 0,028 gr/hari x 10 hari = 0,28 gr
Setelah ditemukan dosis pakan, selanjutnya dilakukan penghitungan dosis hormon Aromatase Inhibitor (AI). Caranya adalah dengan mengalikan dosis pakan (dalam kg) dengan 60 mg (untuk ikan nila). Hasilnya ditemukan dosis hormon 0,02 mg/gr pakan x 0,28 gr = 0,056 mg dengan frekuensi  pemberian 3 kali sehari.
            Sebelum dicampurkan dengan pakan, hormon dilarutkan dengan pelarut polar (alcohol 70%) dan kemudian dicampur secara merata dengan pakan, sebelum pakan dibungkus dengan kertas terlebih dahulu pakan diangin-anginkan sampai kering. Selanjutnya pakan dibagi menjadi sebanyak 30 bungkus untuk pemberian selama 10 hari, dan diberikan pada ikan 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore.
Pada akhir dari praktikum ini didapat tingkat derajat kelangsungan hidup larva (SR) 62%, dengan rumus . Hasil ini dapat dikatakan masih baik karena masih diatas nilai 50%, sedangkan tingkat pertumbuhan dari jumlah pakan yang diberikan tidak dihitung. Kurangnya daya dukung praktikum menjadi kendala yang dihadapi sehingga dalam melakukan praktikan tidak mampu untuk menentukan faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kerja hormon Aromatase Inhibitor (AI) yang diberikan pada larva. Ikan yang telah dilakukan perangsangan hormon belum bisa di identifikasi jenis kelamin dengan mata terbuka. Sehingga ikan yang telah dilakukan proses perangsangan tersebut belum diketahui prosentase terjadinya jantan dan betina.
BAB  V
P E N U T U P


A.  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini yaitu :
  1. Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatase sebagai  feedback-nya. Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder.
  2. Pemberian hormon Aromatase Inhibitor (AI) dengan metode oral pada larva ikan nila merah ini dilakukan dengan tujuan sex reversal untuk penjantanan. Pemberian hormon ini dilakukan pada larva yang berumur 7-10 hari. Karena larva pada umur ini belum terjadi proses diferensiasi sex (belum pasti) jenis kelamin ikan.
  3. Derajat kelangsungan hidup larva (SR) pada praktikum ini adalah 62%. Hasil ini dapat dikatakan masih baik karena masih diatas nilai 50%, sedangkan tingkat pertumbuhan dari jumlah pakan yang diberikan tidak dihitung.
  4. Ikan yang telah dilakukan perangsangan hormon belum bisa di identifikasi jenis kelamin dengan mata terbuka. Sehingga ikan yang telah dilakukan proses perangsangan tersebut belum diketahui prosentase terjadinya jantan dan betina. Karena keterbatasan alat dan waktu praktikum.
B. Saran
Untuk praktikum selanjutnya diharapkan agar waktu diperpanjang sampai larva dapat diidentifikasi proses perubahan sex kelaminnya agar praktikan dilibatkan langsung pada proses pengamatan dan dapat mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses jantanisasi dan kelangsungan hidupnya.
DAFTAR  PUSTAKA

Arie, Usni. 2004. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila Gift. Jakarta : Penebar Swadaya
Gusrina, 2008. Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3  untuk SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional,
Mantau, 2005. Produksi Benih Ikan Nila Jantan Dengan Rangsangan Hormon Metil Testosterondalam Tepung Pellet. Jakarta : Jurnal Litbang Pertanian

 Sumber: http://muhditernate.wordpress.com/2011/05/29/sex-reversal-pada-ikan-nila/

Rabu, 17 Oktober 2012

CARA MEMILIH INDUK IKAN LELE YANG SIAP DIPIJAHKAN

Cara Memilih Induk Ikan Lele Yang Siap Dipijahkan







1. Ciri-ciri induk lele jantan:
- Kepalanya lebih kecil dari induk ikan lele betina.
- Warna kulit dada agak tua bila dibanding induk ikan lele betina.
- Urogenital papilla (kelamin) agak menonjol, memanjang ke arah belakang, terletak di belakang anus, dan warna kemerahan.
- Gerakannya lincah, tulang kepala pendek dan agak gepeng (depress).
- Perutnya lebih langsing dan kenyal bila dibanding induk ikan lele betina.
- Bila bagian perut di stripping secara manual dari perut ke arah ekor akan mengeluarkan cairan putih kental (spermatozoa-mani).
- Kulit lebih halus dibanding induk ikan lele betina.

2. Ciri-ciri induk lele betina
- Kepalanya lebih besar dibanding induk lele jantan.
- Warna kulit dada agak terang.
- Urogenital papilla (kelamin) berbentuk oval (bulat daun), berwarna kemerahan, lubangnya agak lebar dan terletak di belakang anus.
- Gerakannya lambat, tulang kepala pendek dan agak cembung.
- Perutnya lebih gembung dan lunak.
- Bila bagian perut di stripping secara manual dari bagian perut ke arah ekor akan mengeluarkan cairan kekuning-kuningan (ovum/telur).

3. Syarat induk lele yang baik:
- Kulitnya lebih kasar dibanding induk lele jantan.
- Induk lele diambil dari lele yang dipelihara dalam kolam sejak kecil supaya terbiasa hidup di kolam.
- Berat badannya berkisar antara 100-200 gram, tergantung kesuburan badan dengan ukuran panjang 20-5 cm.
- Bentuk badan simetris, tidak bengkok, tidak cacat, tidak luka, dan lincah.
- Umur induk jantan di atas tujuh bulan, sedangkan induk betina berumur satu tahun.
- Frekuensi pemijahan bisa satu bula sekali, dan sepanjang hidupnya bisa memijah lebih dari 15 kali dengan syarat apabila makanannya mengandung cukup protein.

4. Ciri-ciri induk lele siap memijah adalah calon induk terlihat mulai berpasang-pasangan, kejar-kejaran antara yang jantan dan yang betina. Induk tersebut segera ditangkap dan ditempatkan dalam kolam tersendiri untuk dipijahkan.

5. Perawatan induk lele:
- Selama masa pemijahan dan masa perawatan, induk ikan lele diberi makanan yang berkadar protein tinggi seperti cincangan daging bekicot, larva lalat/belatung, rayap atau makanan buatan (pellet). Ikan lele membutuhkan pellet dengan kadar protein yang relatif
tinggi, yaitu ± 60%. Cacing sutra kurang baik untuk makanan induk lele, karena kandungan lemaknya tinggi. Pemberian cacing sutra harus dihentikan seminggu menjelang perkawinan atau pemijahan.
- Makanan diberikan pagi hari dan sore hari dengan jumlah 5-10% dari berat total ikan.
- Setelah benih berumur seminggu, induk betina dipisahkan, sedangkan induk jantan dibiarkan untuk menjaga anak-anaknya. Induk jantan baru bisa dipindahkan apabila anak-anak lele sudah berumur 2 minggu.
- Segera pisahkan induk-induk yang mulai lemah atau yang terserang penyakit untuk segera diobati.
- Mengatur aliran air masuk yang bersih, walaupun kecepatan aliran tidak perlu deras, cukup 5-6 liter/menit.

SUMBER : http://minatumaritis.blogspot.com/2012/03/cara-memilih-induk-yang-siap-dipijahkan.html. 

Sabtu, 13 Oktober 2012

TEKNIK PEMIJAHAN IKAN LELE SANGKURIANG

TEKNIK PEMIJAHAN LELE SANGKURIANG
 LABEL: Artikel Perikanan
2.1. Pematangan Gonad
Pematangan gonad lele sangkuriang dilakukan di kolam tanah. Caranya, siapkan kolam ukuran 50 m2, keringkan selama 2-4 hari dan perbaiki seluruh bagian kolam, isi air setinggi 50-70 cm dan alirkan secara kontinyu, masukkan 300 ekor induk ukuran 0,7-1,0 kg, beri pakan tambahan berupa pellet khusus lele dumbo sebanyak 3% setiap hari.
Catatan: induk jantan dan betina dipelihara terpisah.
2.2. Pematangan di bak
Pematangan gonad juga bisa dilakukan di bak. Caranya, siapkan baktembok ukuran panjang 8m, lebar 4m dan tinggi 1m; keringkan selama 2-4 hari, isi air setinggi 80-100 cm dan alirkan secara kontinyu, masukkan 100 ekor induk, beri pakan tambahan (pellet) sebanyak 3 persen/hari.
Catatan: induk jantan dan betina dipelihara terpisah.
2.3.Seleksi
Seleksi induk lele sangkuriang dilakukan dengan melihat tanda-tanda pada tubuh.
Tanda induk betina yang matang gonad :
- perut gendut dan tubuh agak kusam
- gerakan lamban dan punya dua lubang kelamin
- satu lubang telur satu lubang kencing
- alat kelamin kemerahan dan agak membengkak
Tanda induk jantan yang matang gonad :
- gerakan lincah, tubuh memerah dan bercahaya
- punya satu lubang kelamin yang memanjang, kemerahan, agak membengkak dan berbintik putih.
2.4. Pemijahan dan Pemeliharaan Larva
Pemijahan ikan lele sangkuriang dapat dilakukan dengan tiga carayaitu : pemijahan alami (natural spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan (induced/artificial breeding). Pemijahan alami dilakukan dengan cara memilih induk jantan dan betina yang benar-benar matang gonad kemudian dipijahkan secara alami di bak/wadah pemijahan dengan pemberian kakaban. Pemijahan semi alami dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara alami. Pemijahan buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikkan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara buatan.
  1. Pemijahan Alami
- Siapkan bak berukuran panjang 2m, lebr 1m, dan tinggi 0,4 m
- Keringkan selama 2-4 hari
- Isi air setinggi 30 cm dan biarkan mengalir selama pemijahan
- Pasang hapa halus seusai ukuran bak
- Masukkan ijuk secukupnya
- Masukkan 1 ekor induk betina yang sudah matang gonad pada siang atau sore hari
- Masukkan pula 1 ekor induk jantan
- Biarkan memijah
- Esok harinya tangkap kedua induk dan biarkan telur menetas di tempat itu.
Hasil pemijahan alami lele sangkuriang biasanya kurang memuaskan. Jumlah telur yang keluar tidak banyak.
B. Pemijahan Semi Alami
- Perbandingan induk jantan dan betina 1:1 baik jumlah maupun berat
- Penyuntikkan langkahnya sama dengan pemijahan buatan
- Pemijahan langkahnya sama dengan pemijahan alami
C. Pemijahan Buatan
Pemijahan buatan memerlukan keahlian khusus. Dua langkah kerja yang harus dilakukan dalam sistem ini adalah penyuntikkan, pengambilan sperma dan pengeluaran telur.
    1. Penyuntikkan dengan ovaprim
Penyuntikkan adalah kegiatan memasukkan hormon perangsang ke tubuh induk betina. Hormon perangsang yang digunakan adalah ovaprim. Caranya, siapkan induk betina yang sudah matang gonad; sedot 0,3 mil ovaprim untuk setiap kilogram induk; suntikkan ke dalam tubuh induk tersebut; masukkan induk yang sudah disuntik ke dalam bak lain dan biarkan selama 10 jam.
    1. Penyuntikkan dengan hypofisa
Penyuntikkan bisa juga dengan ekstrak kelenjar hypofisa ikan mas atau lele dumbo. Caranya siapkan induk betina yang sudah matang gonad ; siapkan 1,5 kg ikan mas ukuran 0,5 kg; potong ikan mas tersebut secara vertikal tepat di belakang tutup insang; potong bagian kepala secara horizontal tepat dibawah mata; buang bagian otak; ambil kelenjar hypofisa; masukkan ke dalam gelas penggerus dan hancurkan; masukkan 1 cc aquabides dan aduk hingga rata; sedot larutan hypofisa itu; suntikkan ke dalam tubuh induk betina; masukkan induk yang sudah disuntik ke bak lain dan biarkan selama 10 jam.
    1. Pengambilan Sperma
Setengah jam sebelum pengeluaran tleur; sperma harus disiapkan. Caranya:
1. Tangkap induk jantan yang sudah matang kelamin
2. Potong secara vertikal tepat di belakang tutup insang
3. Keluarkan darahnya
4. Gunting kulit perutnya mulai dari anus hingga belakang insang
5. Buang organ lain di dalam perut
6. Ambil kantung sperma
7. Bersihkan kantung sperma dengan tisu hingga kering
8. Hancurkan kantung sperma dangan cara menggunting bagian yang paling banyak
9. Peras spermanya agar keluar dan masukkan ke dalam cangkir yang telah diisi 50 ml (setengah gelas) aquabides
10. Aduk hingga homogen.
2.5. Pengeluaran Telur
Pengeluaran telur dilakukan setelah 10 jam dari peyuntikkan, namun 9 jam sebelumnya diadakan pengecekkan.
Cara pengeluaran telur:
1. Siapkan 3 buah baskom plastik, 1 botol Natrium Chlorida (infus), sebuah bulu ayam, kain lap dan tisu
2. Tangkap induk dengan sekup net
3. Keringkan tubuh induk dengan lap
4. Bungkus induk dengan lap dan biarkan lubang telur terbuka
5. Pegang bagian kepala oleh satu orang dan pegang bagian ekor oleh yang lainnya
6. Pijit bagian perut ke arah lubang telur
7. Tampung telur dalam baskom plastic
8. Campurkan larutan sperma ke dalam telur
9. Aduk hingga rata dengan bulu ayam
10. Tambahkan Natrium Chlorida dan aduk hingga rata
11. Buang cairan itu agar telur-telur bersih dari darah
12. Telus siap ditetaskan.
2.6. Penetasan
Penetasan lele sangkuriang dimasukkan ke dalam bak tembok. Caranya :
1. Siapkan sebuah bak tembok ukuran panjang 2 m, lebar 1 m dan tinggi 0,4 m
2. Keringkan selama 2-4 hari
3. Isi bak tersebut dengan air setinggi 30 cm dan biarkan air mengalir selama penetasan
4. Pasang hapa halus yang ukurannya sama dengan bak
5. Beri pemberat agar hapa tenggelam (misalnya kawat behel yang diberi selang atau apa saja
6. Tebarkan telur hingga merata ke seluruh permukaan hapa
7. Biarkan telur menetas dalam 2-3 hari.
Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan penggantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi. Peningkatan oksigen terlarut dapat pula diupayakan dengan pemberian aerasi.
Telur lele sangkuriang menetas 30-36 jam setelah pembuahan pada suhu 22-25 0C. Larva lele yang baru menetas memiliki cadangan makanan berupa kantung telur (yolksack) yang akan diserap sebagai sumber makanan bagi larva sehingga tidak perlu diberi pakan. Penetasan telur dan penyerapan yolksack akan lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Pemeliharaan larva dilakukan dalam hapa penetasan. Pakan dapat mulai diberikan setelah larva berumur 4-5 hari atau ketika larva sudah dapat berenang dan berwarna hitam.
III. MANAJEMEN KESEHATAN DAN LINGKUNGAN
Kegiatan budidaya lele sangkuriang di tingkat pembenih/pembudidaya sering dihadapkan pada permasalahan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Pada kegiatan pembenihan, penyakit banyak ditimbulkan oleh adanya serangan organisme pathogen sedangkan pada kegiatan pembesaran, penyakit biasanya terjadi akibat buruknya penanganan kondisi lingkungan.
Kegagalan pada kegiatan pembenihan ikan lele dapat diakibatkan oleh serangan organisme predator (hama) ataupun organisme pathogen (penyakit). Organisme predator yang biasanya menyerang antara lain insekta, ular, atau belut. Serangan lebih banyak terjadi bila pendederan benih dilakukan di kolam tanah dengan menggunakan pupuk kandang. Sedangkan organisme pathogen yang lebih sering menyerang adalah Ichthiopthirius sp, Trichodina sp, Dacttylogyrus sp, dan Aeromonas hydrophyla.
Penanggulangan hama insekta dapat dilakukan dengan pemberian insektisida yang direkomendasikan pada saat pengisian air sebelum benih ditanam. Sedangkan penanggulangan belut dapat dilakukan dengan pembersihan pematang kolam dan pemasangan kolam di sekeliling kolam.
Penanggulangan organisme pathogen dapat dilakukan dengan manajemen lingkungan budidaya yang baik dan pemberian pakan yang teratur dan mencukupi. Bila serangan sudah terjadi,benih harus dipanen untuk diobati. Pengobatan dapat menggunakan obat-obatan yang direkomendasikan.
Manajemen lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan persiapan kolam dengan baik. Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan kolam dan tanah, persiapan kolam meliputi pengeringan, pembalikan tanah, perapihan pematang, pengapuran, pemupukan, pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan bak tembok atau bak plastik, persiapan kolam meliputi pengeringan, disinfeksi (bila diperlukan), pemupukan, pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Perbaikan kondisi air kolam dapat pula dilakukan dengan penambahan probiotik.
Sumber : http://tipspetani.blogspot.com/2011/03/teknik-pemijahan-lele-sangkuriang.html.


TEKNIK PERSIAPAN KOLAM PEMIJAHAN IKAN LELE (Clarias sp)

Pembuatan kolam pemijahan untuk setiap pasang induk Ikan lele (Clarias sp.) yang beratnya antara 0,5 – 1 kg diperlukan satu buah bak plastik atau semen dengan ukuran 1 x 2 x 0,5 meter atau 1 x 1 x 0,5 meter.
Sebelum kolam atau bak digunakan, bak dicuci bersih agar kotoran-kotoran dan lumut yang menempel terlepas dan dasar bak menjadi bersih dan benih lele terhindar dari serangan penyakit.

Selanjutnya setelah pembuatan kolam diisi air bersih setinggi 30 – 40 cm. Sebagai tempat atau media menempelnya telur, di dasar bak dipasang kakaban yang terbuat dari ijuk. Ukuran kakaban disesuaikan dengan ukuran bak pemijahan. Namun, ukuran yang biasa digunakan panjangnya 75 – 100 cm dan lebarnya 30 – 40 cm.Sebagai patokan, untuk 1 pasang induk lele dumbo dengan berat induk betina 500 gram, dibutuhkan kakaban sebanyak 3 – 4 buah. Jika kurang, dikhawatirkan telur yang dikeluarkan ketika pemijahan tidak tertampung seluruhnya atau menumpuk di kakaban, sehingga mudah membusuk dan tidak menetas. Kakaban harus menutupi seluruh permukaan dasar bak pemijahan, sehingga semua telur lele dumbo tertampung di kakaban.

Bagian atas bak pemijahan di tutup dengan seng atau triplek atau anyaman bambu untuk mencegah induk lele dumbo yang sedang dipijahkan meloncat keluar.

SUMBER : http://informasi-budidaya.blogspot.com/2011/09/pembuatan-kolam-pemijahan-ikan-lele.html.